Penyelesaian Perkara Koneksitas

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada era reformasi terdapat sejumlah tuntutan yang dikumadangkan oleh para aktivis yang ditujukan kepada pemerintah dan salah satunya adalah penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.

Dalam perkembagannya pemisahan kewenagan kedua lembaga ini dapat terlihat jelas dalam pasal 30 UUD 1945, dimana disana dikatakan bahwa TNI sebagai alat pertahanan Negara yang bertugas menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara, sedangkan POLRI sebagai alat Negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarkat serta menegakkan hukum.

Kedua lembaga ini merupakan alat yang sangat penting dan sentral dalam upaya perrahanan bangsa, kemajuan serta keamanan dan ketertiban masyarakat, namun lepas dari tugas yang mulia ini tak serta merta membuat instansi ini kebal hukum, dalam perkembangannya aparat seringkali melakukan perbuatan pidana, sehubungan dengan hal itu proses penyelesaian perkaranya merupakan hal yang penting dan menarik untuk dibahas.

Jika dalam pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dikatakan telah tunduk pada kekuasaan Peradilan umum , dalam hal seorang militer yang melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 9 UU 31 tahun 1997 ditetapkan tunduk pada peradilan militer.

Masalah yang timbul saat ini adalah bagaiman jika suatu perbuatan pidana dilakukan oleh militer secara bersama-sama dengan masyarakat sipil, yang dalam perkembangannya disebut perkara koneksitas. Masalah ini pada dasarnya telah diatur dalam pasal 89 – 94 KUHAP, Keterlibatan anggota militer bersama-sama dengan orang sipil dalam melakukan suatu tindak pidana dalam hukum pidana termasuk dalam perkara koneksitas, artinya ada dua pengadilan yang berada dalam lingkup peradilan yaitu peradilan umum bagi orang sipil dan peradilan militer bagi mereka yang anggota militer. Bagi orang sipil tunduk sepenuhnya pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan bagi anggota militer tunduk pada Hukum acara yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Perkara koneksitas merupakan persoalan hukum yang unik. Keunikan perkara koneksitas terletak pada hukum acaranya. Hal –hal inilah yang mendasari penulis untuk membahas lebih jauh masalah ini.

Rumusan masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah,
1. badan peradilan mana yang berhak dalam mengadili perkara koneksitas?
2. bagaimana pelaksanaan peradilan perkara koneksitas?
3. Hambatan-hambatan apa saja dalam penanganan perkara koneksitas?

PEMBAHASAN
1. Badan Peradilan yang Berhak Dalam Mengadili Perkara Koneksitas
Perkara koneksitas merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, artinya para pihak berasal dari lingkungan peradilan yang berbeda, sebab dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikenal empat lingkungan peradilan yang berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang mana masing-masing lembaga peradilan memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam mengadili, Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut dan tidak bisa dicampuri oleh lingkungan peradilan lain.
Suatu perkara koneksitas diperiksa dalam lingkungan peradilan militer hanya apabila terdapat 2 hal yaitu :
1. Jika ada keputusan Menteri Pertahanan yang mengharuskan perkara koneksitas ini diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer.
2. Keputusan Menteri Pertahanan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa perkara koneksitas itu diperiksa dan diadili oleh oleh lingkungan Peradilan Militer. ( pasal 89 kuhap)
Lebih jelasnya lagi dalam pasal 24 uu no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman mengatakan “tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan mahkamah agung perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam penjelasan pasal ini menjelaskan yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer, sedangkan Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan hal inilah jelas bahwa terlebih dahulu harus ada kajian untuk menentukan peradilan mana yang lebih kompeten dalam mengadili perkara tersebut. Dalam pasal 90 ayat 1 kuhap dikatakan , untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat 1, diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada pasal 89 ayat 2,

selanjutnya pendapat dan penelitian tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada kejagung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada jenderal angkatan bersenjata RI (Panglima TNI).
Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Sedangkan apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaƱa dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam pasal 93 ayat 1 dikatakan apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Sehingga berdasarkan hal itu Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat tersebut.
2. Proses Pemeriksaan Perkara koneksitas

a. Penyidikan perkara koneksitas
Pasal 89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur :
a. Penyidik Polri;
b. Polisi Militer;
c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi
Cara bekerja tim disesuaikan dengan kewenangan yang ada pada masing-masing unsur tim. Bila dilihat dari segi wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a. tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.
b. Sedangkan tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer.
a. Susunan Majelis Peradilan koneksitas
Susunan Majelis hukum peradilan perkara koneksitas disesuaikan dengan lingkungan peradilan yang mengadili perkara tersebut. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
- Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri dari tiga orang.
- Hakim Ketua diambil dari Hakim Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
- Hakim Anggota ditentukan secara berimbang antara lingkungan peradilan umum dengan lingkungan peradilan militer.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
- Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan Militer.
- Hakim Anggota diambil secara berimbang dari hakim Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
- Hakim Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat militer “tituler”.
- Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia bersama dengan Menteri Pertahanan.
Susunan ini juga berlaku pada susunan Majelis Hakim pada tingkat Banding.

3. Hambatan Penanganan Perkara Koneksitas

a. KUHAP tidak memuat aturan mengenai kepangkatan dalam perkara koneksitas.
Persidangan kasus dugaan korupsi Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BPTWP) TNI AD beberapa waktu yang lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro menginformasikan majelis hakim yang menangani perkara tersebut telah dibentuk.

Sebagaimana diketahui, kasus ini melibatkan dua tersangka sipil dan satu tersangka militer. Dari sipil, tersangkanya adalah Pemilik Yayasan Mahaneim Samuel Kristanto dan seorang pengusaha bernama Dedy Budiman Garna. Sementara, dari militer adalah Kepala BPTWP TNI AD Kolonel Ngadimin Darmosujono. Ini akan disidangkan secara koneksitas karena perbuatannya dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer.

Dengan pertimbangan perkara ini adalah perkara koneksitas, maka susunan majelisnya pun terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer. PN Jaksel menyumbang dua nama, yakni Soedarmadji sebagai ketua majelis dan Wahjono sebagai anggota majelis. Sementara, satu hakim lainnya berasal dari militer adalah Mayor CHK Budi Purnomo.

Jika kita melihat susunan majelis yang dipaparkan Ketua PN Jaksel, uniknya hakim militer yang ditugaskan menangani perkara ini hanya berpangkat mayor. Padahal, berdasarkan tata urutan kepangkatan militer mayor berkedudukan lebih rendah dibandingkan kolonel. Artinya, pangkat hakim militer yang menangani perkara ini lebih rendah dari terdakwa. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pasal 16 ayat 5 uu 31 tahun 1997 tentang pengadilan militer, dimana ditentukan jika terdakwanya berpangkat kolonel setidaknya hakim yang menangani perkara itu harus setingkat dengan pangkat terdakwa.

Dalam hal ini, KUHAP tidak memberikan pengaturan yang jelas tentang kepangkatan dalam perkara koneksitas, sehinggga perlu adanya revisi, setidaknya memberikan penjelasan atau pengecualian dalam uu pengadilan militer.

b. Adanya Penghapusan Perkara Koneksitas dalam RUU Pengadilan Militer
Menurut Mayjen TNI Burhan Dahlan, Dalam draft RUU Peradilan Militer yang saat ini dibahas bahwa judul bagian kelima Bab IV telah dihapus, begitu juga ketentuan Pasal 198 s.d. 203 dihapus, sehingga tidak terdapat lagi ketentuan pemeriksaan koneksitas. Kenyataannya Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Pasal 16 Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur pemeriksaan koneksitas, yakni untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Pemeriksaan dilakukan oleh peradilan umum tapi juga dapat diperintahkan untuk diperiksa oleh peradilan militer.

Berdasarkan hal ini beliau menyarankan dalam draft RUU Peradilan Militer perlu untuk
mencantumkan tentang pemeriksaan perkara koneksitas sesuai ketentuan Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman yang ada saat ini.


c. Perkara Koneksitas Memakan Waktu yang Lama
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu perkara hanya bisa disidangkan sebagai perkara koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah disejui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum lagi menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum atau militer, sehingga dapat kita bayangkan waktu yang akan diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Hal ini pernah menjadi alasan dari brigadir Jenderal Soenarko GA, selaku komandan polisi angkatan laut dalam kasus pembunuhan Direktur PT Asaba Budyarto Angsono tahun 2004 silam. Ketika itu pengacara Gunawan Santosa meminta untuk menyidangkan kasus tersebut secara koneksitas, karena sesuai dengan dugaan awal terdakwa Gamawan dibantu oleh 4 orang marinir.
Seharusnya masalah ini juga perlu untuk diperhatikan agar prinsip-prinsip pengadilan yang cepat. Tepat dan murah dapat terwujud tanpa menyampingkan nilai-nilai keadilan yang sesunggunya.

PENUTUP
Kesimpulan dan saran
Seiring dengan perkembangan yang ada, perkara-perkara koneksitas telah sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mengatasi hal ini dibutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan adanya pembentukan sikap, karakter prajurit merupakan langkah yang paling tepat untuk dilakukan, dan tak kalah penting adanya pembenahan hukum terkait perkara koneksitas dalam mengantisipasi jika hal-hal seperti ini terjadi. Dan pada akhirnya biarlah hukum terus kita ditegakkan, fiat justitia raut caelum.

SUMBER
 Rzk, http://webcache.googleusercontent, ditulis pada tanggal 13 januari 2007
 Mayjen TNI Burhan Dahlan, S.H., M.H., http://www.dilmil-madiun.go.id/news/20/HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER, ditulis juni 2010
 Yandhrie Arvian, http:///www. tempointeraktif.com, ditulis pada tanggal 20 februari 2004
 KUHAP
 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Masalah Pendaftaran Jaminan Fidusia

Upaya Hukum Pidana