Analisis Masalah Pendaftaran Jaminan Fidusia

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana disebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satunya ialah pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam. Perolehan pendanaan tersebut salah satunya adalah melalui jasa Perbankan, yaitu melalui kredit yang diberikan oleh pihak Bank atau melalui jasa lembaga pembiayaan lainnya.
Dalam praktek pelaksanaan pemberian kredit dari Bank tersebut dikenal suatu cara yang dinamakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit kepada masyarakat guna mengembangkan usahanya, dimana benda yang menjadi jaminan tetap berada ditangan debuitur, sehingga hal ini seringkali dipakai masyarakat kecil untuk mendapatkan modal dalam mengembangkan usahanya.
Rumusan masalah
Saat ini Fidusia merupakan salah satu cara yang seringkali dipakai bank untuk mendapatkan keuntungan, sejumlah cara dilakukan untuk mendapatkan nasabah, baik dengan sejumlah kemudahan untuk mendapatakan kredit maupun bebagai hal lain yang menggiurkan masyarakat untuk mendapatkan modal, namun dari sejumlah kemudahan tersebut ada sejumlah masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan jaminan tersebut, yaitu mengenai pendaftaran jminan fidusia.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang jaminan fidusia dan lembaga jaminan fidusia, adapun yang menjadi pokok permasalahannya yaitu :
a. Hambatan-hambatan apa saja yang terjadi dalam pendaftaran jaminan fidusia?
b. Bagaimana cara untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut?

PEMBAHASAN

Pengertian Fidusia
Fidusia berasal dari bahasa belanda, yaitu fiducia, sedangkan dalam bahasa inggris disebut sebagai fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Didalam berbagai literatur, fidusia sering disebut dengan istilah eigendom overdracht (FEO), yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan. Adapun pengertian fidusia dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, memberikan arti,
“fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatau benda ats dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”
Berikut beberapa pengertian pokok mengenai fidusia dalam UU No. 42 tahun 1999,
 Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
 Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.
 Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
 Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia ataupun mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen.
 Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang. Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang.
 Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti Pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam fiducia cum creditore contracta di atas.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebelum berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999, selama ini kita mengenal lembaga jaminan fidusia dalam bentuk “fiduciaire eigendomsoverdracht” atau disingkat FEO yang berarti pengalihan hak milik secara kepercayaan. Pranata jaminan FEO ini timbul berkenaan dengan ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Kitab Undang-undang Perdata) yang mengatur tentang gadai. Sesuai dengan pasal ini kekuasaan atas benda yang digdaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya.

Sejarah Lahirnya Jaminan Fidusia
Ketika terjadi krisis dalam bidang hukum jaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19, telah terjadi pertentangan berbagai kepentingan. Krisis dimana ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertanian yang melanda negara Belanda bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Sehubungan dengan ini lahirlah lembaga jaminan fidusia yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi.

Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya, Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitor.

Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Kasusnya adalah sebagai berikut :
Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM.
Pada waktu itu, karena sudah terbiasa dengan hukum adat, penyerahan secara constitutum possessorium sulit dibayangkan apalagi dimengerti dan dipahami oleh orang Indonesia. Dalam prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang-barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fldusia sebagai penyimpan.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum posses-sorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotek.

Perkembangan selanjutnya, Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.

Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 tahun 1960) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena Undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objeknya adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Permasalahan jaminan fidusia
Dalam UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 terdapat tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Pendaftaran fidusia tidak dapat dipisahkan dari jaminan fidusia karena pendaftaran fidusia mengakibatkan terjaminnya kepastian hukum bagi kreditur dan pihak lain yang berkepentingan. Sampai saat ini, masih banyak jaminan fidusia yang tidak didaftarkan karena banyak hal yang menjadi hambatan dalam proses pendaftaran jaminan fidusia.
Sebelum berlakunya Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, lembaga fidusia sempat diatur antara lain dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Undang-undang nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut terdapat banyak kelemahan-kelemahan tentang lembaga jaminan fidusia antara lain sebagai berikut:
1. Tidak adanya pendaftaran; Dengan tidak adanya pendaftaran, dapat menyebabkan tidak adanya keadilan dan kepastian hukum.
2. Tidak adanya publisitas; Dengan tidak didaftarkannya objek jaminan fidusia yang dijadikan jaminan fidusia, maka akan merugikan pihak ketiga, karena pihak ketiga tidak mengetahui apakah objek jaminan fidusia itu sedang dibebani objek jaminan fidusia atau tidak..
3.Adanya fidusia ulang; Dengan tidak adanya pendaftaran terhadap jaminan Fidusia, dapat mengakibatkan adanya fidusia ulang.
Adanya kelemahan-kelemahan tersebut di atas, dapat ditutupi dan dilengkapi dengan kehadiran undang-undang tentang Jaminan Fidusia, namun undang-undang tersebut juga masih terdapat bebarapa kelemahan, terutama mengenai pembebanan objek jaminan fidusia dan pendaftaran akta jaminan fidusia yang dapat memungkinkan para pihak untuk tidak membebankan dan tidak mendaftarkan jaminan tersebut.
Permasalahan pendaftaran fdusia tersebut sangatlah mendasar dan sangat pokok, mengingat banyak pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Dikatakan sangat mendasar karena Penerima Fidusia sangat lemah posisinya, apabila pembebanan objek jaminan fidusia dan pendaftaran jaminan fidusia tersebut tidak dilaksanakan oleh Notaris akibat kelalaiannya, atau adanya kerjasama antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia serta Notaris untuk tidak membebani objek jaminan fidusia dan mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
Disamping itu pihak ketiga juga merupakan pihak yang harus dilindungi oleh Pemberi Fidusia, Penerima Fidusia, manakala objek jaminan fidusia disewakan atau dipinjampakaikan kepada pihak ketiga tersebut. Undang-undang nomor 42 tentang Jaminan Fidusia mengatur secara tegas mengenai kewajiban pembebanan, pendaftaran serta sanksi akibat adanya kesengajaan atau kelalaian apabila para pihak tidak membebani objek jaminan fidusia dan tidak mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Oleh karena itu Undang-undang tersebut dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum terutama bagi para pihak yang membuat perjanjian kredit atau perjanjian pengikatan jaminan fidusia atau juga terhadap pihak ketiga manakala pemberi fidusia atau Debitur wanprestasi terhadap hutangnya. Beberapa teori dalam penelitian ini antara lain teori perjanjian, dikarenakan antara debitur atau pemberi fidusia dan kreditur atau penerima fidusia mengadakan suatu perjanjian pengikatan kredit atau pengikatan jaminan fidusia di hadapan Notaris. Perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak terkait, janji itu mengikat (Pacta Sunt Servanda), demikian ajaran Hugo de Groot. Selain itu, teori fidusia yang menjadi acuan bagi penulis dalam penelitian ini yaitu perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan fidusia merupakan jaminan perseorangan, dimana antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia saling memberikan kepercayaan, Pemberi Fidusia menyerahkan hak kepemilikannya kepada Penerima Fidusia, namun Penerima Fidusia tidak langsung memiliki objek yang menjadi jaminan fidusia tersebut yang diserahkan oleh Pemberi Fidusia, sehingga jaminan fidusia merupakan suatu teori jaminan. Didalam pembahasan mengenai jaminan fidusia yang dikaitkan dengan teori tersebut di atas, berpedoman pada suatu sistem hukum. Sistem hukum adalah keseluruhan tata tertib hukum yang didukung oleh sejumlah asas Hukum jaminan terdiri dari beberapa asas. Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa asas-asas hukum jaminan adalah sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai asas filosofi/idealis,
2. UUD 1945 sebagai asas konstitusional,
3. TAP MPR sebagai asas politik,
4. Undang-undang sebagai asas operasional.
Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari 3 unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture). Selain teori tersebut di atas terdapat pula teori perlindungan. Menurut teori Perlindungan yang dikemukakan oleh Telders, Van der Grinten dan Molengraff, “ suatu norma baru dapat dianggap dilanggar, apabila suatu kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar”. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum. Berkaitan dengan suatu sistem hukum tersebut, maka hukum jaminan fdusia mempunyai sifat dan asas, sifat-sifat tersebut antara lain yaitu jaminan kebendaan dan perjanjian ikutan (accesoir), sedangkan asas-asas jaminan fidusia antara lain sebagai berikut:
1. Asas Hak mendahului dimiliki oleh Kreditur
2. Asas objek jaminan fidusia yang mengikuti bendanya
3. Asas jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan
4. Asas objek jaminan fidusia terhadap utang kontijen
5. Asas objek jaminan fidusia pada benda yang akan ada
6. Asas objek jaminan fidusia diatas tanah milik orang lain
7. Asas objek jaminan fidusia diuraikan lebih terperinci
8. Asas Pemberi Jaminan Fidusia harus kompeten
9. Asas Jaminan Fidusia harus didaftarkan
10. Asas benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh Kreditur.
11. Asas bahwa jaminan fidusia mempunyai hak prioritas
12. Asas bahwa Pemberi Fidusia harus beritikad baik
13. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi
Kesemua asas-asas yang tercantum dalam jaminan fidusia mencerminkan bahwa hukum jaminan fidusia mempunyai karakter dan keunikan tersendiri yang perlu diteliti sedemikian rupa. Masih banyak kelemahan dalam pembentukan Undang-undang Jaminan Fidusia dan pengaturannya serta penafsirannya. Untuk melaksanakan asas-asas tersebut di atas seharusnya dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris, antara Pemberi Fidusia atau Debitur dengan Penerima Fidusia atau Kreditur, haruslah dibuat dengan lengkap. Dimulai dengan penandatanganan perjanjian pokok, Surat Kuasa untuk mendaftarkan fidusia dari Penerima Fidusia kepada Notaris atau karyawan Notaris. Surat Kuasa pendaftaran tersebut dapat disubstitusikan kepada karyawan Notaris, apabila didalam Surat Kuasa tersebut Penerima Fidusia hanya memberikan kuasanya kepada Notaris. Proses pembuatan akta jaminan fidusia tidak lantas berhenti sampai tahap pembuatan akta Jaminan Fidusia saja, namun proses pendaftaran jaminan fidusia sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap para pihak.

Mekanisme Pendaftaran Fidusia
Untuk pertama kali pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta, kemudian secara bertahap, sesuai keperluan, didirikan di ibukota propinsi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat juga didirikan di setiap Daerah Tingkat II yang harus dapat disesuaikan dengan Undang¬Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.10 Tahun 2002. Sejak tanggal 1 April 2001 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah tidak lagi melakukan Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftaran dilaksanakan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tempat kedudukan pemberi fidusia.
Pada saat ini pendaftaran fidusia didaftarkan oleh penerima Jaminan Fidusia ke kantor pendaftaran fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang letaknya di ibukota propinsi. Permohonan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, dengan melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia dan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000, yang isinya:
 Identitas pihak pemberi dan penerima yang meliputi:
-Nama lengkap;
-Tempat tinggal/tempat kedudukan;
-Pekerjaan.
 Tanggal dan nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat akta jaminan fidusia,
 Perjanjian pokok yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia,
 Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Lihat penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).
 Nilai penjamin,
 Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Pentingnya pendaftaran fidusia, dapat kita lihat pada contoh kasus berikut,
Kasus Posisi : LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjamanpembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF.Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-).Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepedamotor dari PT. AF.Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya keLembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Kota B. Kemudian karena tidak mampu melakukan pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan. Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.

Penanganan Kasus~
1. Ketentuan dalam klausula baku.
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumenmencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkalimuncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelakuusaha baik secara langsung maupun tidak langsung untukmelakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengankendaraan bermotor yang dibeli konsumen;
b. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
c. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelakuusaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.42 Tahun 1999. Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadigugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutangpiutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusilangsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yangberada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidakterdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsungterhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditorkonkuren, yang harus menunggu penyelesaian utang bersamakreditor yang lain.

3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh. Ini berarti konsumen telahm enunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hakmilik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor.
Menghadapi kasus-kasus seperti ini tentu menyadarkan kita betapa pentingnya pendaftaran fidusia, rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayarangsuran secara tepat waktu.
2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama mengenai:
a. hak-hak dan kewajiban para pihak
b. kapan perjanjian itu jatuh tempo;
c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhikewajibannya (wanprestasi)
3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai denganketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

PENUTUP
Setelah keluarnya UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, maka pendaftaran fidusia adalah merupakan suatu hal yang yang tidak dapat dipisahkan dari Jaminan Fidusia itu sendiri. Dengan pendaftaran, maka akan memberikan suatu kepastian hukum bagi kreditur dan pihak lain yang berkepentingan. Akan tetapi di dalam kenyataannya dalam praktik, masih saja banyak kita jumpai Jaminan Fidusia itu tidak didaftarkan, berdasarkan hal itu maka tugas kita untuk berhati-hati dan mengingatkan kepada pemberi modal maupun pencari modal lebih khususnya melalui jaminan fidusia untuk segera mendaftarakan atau bagi masyarakat untuk sekedar teliti dalam mencari fasilitas kredit.


sumber : Bahan ajar hukum jaminan unsrat manado, vide pasal 1 ayat 1 UU No 42 tahun 1999.
Posted by LPK Jawa Timur, tanggal 12 desember 2009, vide UU No. 42 tahun 1999
Sutan ahmad, http://www.s2.hukum.univpandcasila.ac.id, ditulis 11 maret 2010.
Onti rug, http://www. lawskripsi.com, ditulis oktober 2008.
http://www.lbhdharmawangsaext.co.cc/2011/01/permasalahan-mengenai-fiducia.html

Komentar

  1. terimakasih, tulisan yang bagus, Alhamdulillah ilmu saya bertambah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyelesaian Perkara Koneksitas

Upaya Hukum Pidana