Memanasnya Perang Yang Terlupakan (Perang Korea)

PENDAHULUAN
Perang korea yang terjadi beberapa waktu yang lalu menyita banyak perhatian dunia, Serangan artileri Korea Utara ke Korea Selatan membuat suasana di kawasan itu mendadak tegang. Provokasi dari Korut sungguh di luar dugaan. Sejauh ini, tidak ada pihak di Korsel yang menduga akan mendapatkan bombardir peluru artileri. Seperti dilansir Reuters, Selasa (23/11/2010), provokasi memang dimulai oleh Korut, Pada sekitar pukul 15.00 waktu Korea, atau 13.00 WIB, Korut tiba-tiba menembakkan artileri ke arah Pulau Yeonpyeong, Setidaknya 60-70 rumah kebakaran akibat serangan ini.

Sekitar 10 menit kemudian, Korsel langsung membalas serangan artileri. Kedua pihak saling balas bombardir. Sementara saksi mata mengatakan warga Yeonpyeong dievakuasi ke dalam bungker. Artileri Korut pun melumpuhkan listrik di Pulau Yeonpyeong, dua warga dilaporkan terluka. Asap mulai mengepul tinggi dari rumah-rumah warga. Pihak militer Korsel menyatakan status siaga tinggi.
Satu jam berlalu atau sekitar pukul 16.00 waktu Korea, pihak Korsel menyerukan penghentian aksi saling bombardir. Warga Pulau Yeonpyeong mulai diungsikan ke luar pulau dengan perahu nelayan. Perang bombardir berhenti. Militer Korsel mengumumkan satu tentara tewas, 13 luka-luka termasuk 3 orang luka berat.

Latar belakang
Konflik yang terjadi antara korea utara dan korea selatan bukan merupakan perkara baru, setidaknya sejak tahun 1950 kedua Negara ini sudah terlibat perang yang sampai saat ini masih membuat ketegangan diantara kedua belah pihak.
Dimulai dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut “perang yang dimandatkan” (proxy war) atau juga sering disebut sebagai Perang yang Terlupakan dan Perang yang Tidak Diketahui karena dianggap sebagai urusan PBB, yang berakhir dengan kebuntuan (stalemate)
Perang yang terjadi antara Amerika Serikat dan sekutu PBB-nya vs komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet. Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB, sedangkan Sekutu Korea Utara, seperti Republik Rakyat China, yang menyediakan kekuatan militer, sementara Uni Soviet yang menyediakan penasihat perang dan pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok dan Korea Utara.
Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang 6-2-5 (yuk-i-o jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni. Sementara itu, di Korea Utara, perang ini secara resmi disebut Choguk haebang chǒnjaeng ("perang pembebasan tanah air"). Perang Korea juga disebut Chosǒn chǒnjaeng ("Perang Joseo", Joseon adalah sebutan Korea Utara untuk tanah Korea). Perang Korea secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng (Perang Korea) di Republik Rakyat Cina. Kata "Chao Xian" merujuk ke Korea pada umumnya, dan secara resmi Korea Utara. Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran sebelum invasi maupun setelah gencatan senjata dilakukan.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai asal mula terjadinya perang korea, adapun yang menjadi rumusan masalah yaitu :
1. Apakah yang menjadi penyebab masalah terjadinya perang Korea yang sampai sampai saat ini terus berlanjut?
2. Sejauh mana peranan Amerika Serikat dalam perang Korea?
3. Bagaimana seharusnya Indonesia memposisikan diri dalam perang ini?

PEMBAHASAN
1. Sejarah Perang Korea
Setelah mengalahkan Dinasti Qing, China pada Perang Sino-Jepang Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang menduduki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipimpin oleh Kaisar Gojong. Satu dekade kemudian, saat mengalahkan Kekaisaran Rusia pada Perang Rusia-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Korea sebagai protektorat-nya melalui Perjanjian Eulsa di tahun 1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea di tahun 1910.
Sejak saat itu banyak kaum nasionalis dan intelektual yang melarikan diri. Beberapa dari mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea, dipimpin oleh Syngman Rhee, di Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi pemerintahan dalam pengasingan yang hanya diakui oleh sedikit negara. Antara tahun 1919 hingga 1925, kaum komunis Korea memulai pemberontakannya terhadap Jepang.
Korea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama dengan Taiwan, yang merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya; pada tahun 1937, Gubernur-Jenderal Minami Jiro memerintahkan dilakukannya asimilasi budayaJepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni dengan melarang bahasa, sastra, dan budaya Korea, dan menggantinya dengan budaya Jepang, serta memerintahkan orang Korea mengganti nama mereka menjadi nama Jepang. Pada tahun 1938, pemerintahan kolonial menjalankan sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6 juta orang Korea bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja paksa; pada tahun 1942, pria-pria di Korea dipaksa menjadi tentara Jepang.
Sementara itu di Cina, kelompok nasionalis Tentara Revolusi Nasional dan kelompok komunis Tentara Pembebasan Rakyat mengorganisir (sayap-kanan dan sayap-kiri) patriot Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis yang dipimpin oleh Yi Pom-Sok bertempur di Pertempuran Burma (Desember 1941 — Agustus 1945). Kelompok komunis, berada dibawah pimpinan Kim Il-sung, bertempur melawan Jepang di Korea.
Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea meningkat dari 46.000 (1941) ke 300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga merekrut paksa 2,6 juta tenaga kerja yang dikontrol oleh polisi kolaborasionis Korea; lebih dari 723.000 orang dikirim ke luar negeri dan juga ke kota-kota di Jepang. Pada Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang Korea; pada Agustus 1945, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima, 25% diantara mereka tewas. Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui oleh negara kekuatan dunia pada akhir perang.
Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea saat itu diwakili oleh kolonel Amerika Serikat Dean Ruskdan Charles Bonesteel. Dua tahun sebelumnya, di Konferensi Kairo (November 1943), Nasionalis Cina, Britania Raya, dan Amerika Serikat memutuskan bahwa Korea harus menjadi negara merdeka, “pada waktunya”; Stallin pun setuju. Pada bulan Februari 1945, di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian Korea sebagaimana diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.
Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan perang pembebasan Korea dari Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan pendaratan amfibi di bagian utara paralel ke-38. Soviet juga berhasil mengusir tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria.[11][13] Tiga minggu kemudian, pada 8 September 1945, Letnan Jendral John R. Hodge dari Amerika Serikat tiba di Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di wilayah Selatan paralel ke-38.

• Pemisahan Korea
Pada Konferensi Potsdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943), ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka. Selain itu, sebelumnya, Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin membangun “zona penyangga” Eropa — negara satelit yang berada di bawah Moskwa — sebagai balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan Jepang.
Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian utara semenanjung Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26 Agustus berhenti di paralel utara ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan. Pada hari itu pula, dengan semakin dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam “komisi bersama”, perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan sebelumnya, untuk memenuhi persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel Dean Rusk dan Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di garis lintang 38 derajat setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit) memutuskan bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua pelabuhan.
Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38) terlalu selatan, Rusk mengatakan, “bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke utara daripada yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam hal terjadi perselisihan dengan Soviet.. kami merasa penting untuk menyertakan ibu kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan Amerika,” terutama ketika “dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.” Pasukan Soviet setuju dengan demarkasi itu.
Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R. Hodge secara langsung mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 1945–48). Ia memperkuat kontrolnya dengan cara:
• pertama, mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi kolabolatornya.
• kedua, menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik Rakyat Korea (Agustus–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di semenanjung Korea—karena dianggap sebagai komunis.
Kebijakan AS, yang menolak pemerintahan populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan mengakibatkan munculnya Perang Saudara Korea. Pada 3 September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki, komandan, Tentara Wilayah ke-17 Jepang, menghubungi Hodge, mengatakan bahwa tentara Soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong. Hodge mempercayai keakuratan informasi itu.
Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni Soviet menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (Oktober 1945), lagi-lagi tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara tersebut akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian. Rakyat Korea marah dan memulai revolusi di Selatan, beberapa hanya melakukan protes, sisanya mengangkat senjata; untuk menahannya, USAMGIK melarang demonstrasi (8 Desember 1945) dan mencabut perlindungan hukum terhadap Pemerintahan Revolusioner dan Komite Rakyat Republik Rakyat Korea pada 12 Desember 1945.
Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta api berunjuk rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya. Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa dalam “Pemberontakan Daegu”; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi. Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya; di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang pro-Jepang. USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol Korea Selatan.
Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di Korea, berpendapat bahwa setelah tiga puluh lima tahun (1910–45) dikuasai pemerintah kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat Korea menolak dipimpin pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Untuk mendapatkan keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS juga melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni Soviet untuk memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.
Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang mengumumkan secara resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan pada 15 Agustus 1948. Demikian juga di Zona Pendudukan Rusia, Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-sung. Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota kelompok sayap kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut haknya, mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya melawan pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.
Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung, bermaksud menyatukan Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak. Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea Selatan, dengan bantuan terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya. Pada awal masa Perang Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari bangsa apapun adalah anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat pengaruh dari pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap perang sipil di Korea sebagai manuver hegemoni dari Uni Soviet.
Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949, meninggalkan tentara Korea Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet memberikan bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.

• Penyerangan Korea Utara
Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea Utara akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada awal tahun 1950, perwira CIA stasiun Cina Douglas Mackiernan menerima ramalan intelejen Cina dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara Korut akan menyerang ke Selatan.
Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara menyebrangi paralel ke-38, dibantu tembakan artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni 1950. Tentara Korut mengatakan bahwa pasukan Republik Korea (ROK), di bawah pimpinan “Bandit Pengkhianat Syngman Rhee”, telah menyebrangi perbatasan “terlebih dahulu”, dan mereka akan menangkap serta mengeksekusi Rhee. Pada tahun-tahun sebelumnya, kedua Korea telah saling menyerang satu sama lain.
Beberapa jam kemudian kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Republik Korea, melalui Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak Januari. Pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memerintahkan angkatan udara dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan.
Uni Soviet menentang legitimasi perang tersebut, karena (1) data intelejen tentara Korea Selatan yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelejen AS; (2) Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai anggota sementara PBB, yang berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (3) perang Korea berada di luar lingkup Piagam PBB, karena perang perbatasan Utara-Selatan awalnya dianggap sebagai perang saudara. Selain itu, perwakilan Soviet memboikot PBB untuk mencegah tindakan Dewan Keamanan, dan menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum mengatakan bahwa untuk memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5 anggota tetap DK PBB.
Korea Utara memulai “Perang Pembebasan Tanah Air” dengan melakukan invasi darat dan udara dengan 231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek dan wilayah sesuai dengan yang direncanakan seperti Kaesŏng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka dapatkan setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.
Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114 pesawat tempur, 78 pesawat pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan di Korea Utara. Di laut, meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang kecil, juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara keduanya.
Di pihak lain, tentara Korea Selatan masih belum siap. Pada South to the Naktong, North to the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni 1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki 98.000 tentara (65.000 tentara tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan 22 pesawat yang terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain itu tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu – meskipun terdapat pangkalan AS di Jepang.
Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea Selatan — yang kurang loyal terhadap rezim Syngman Rhee — lari ke selatan atau malah berkhianat dan bergabung dengan tentara Korea Utara.
2. Peranan Amerika Serikat Dalam Perang Korea.
Meskipun terjadi demobilisasi besar-besaran pasca Perang Dunia II ditubuh sekutu, ada sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang cukup besar di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Mereka bisa melawan Korea Utara. Selain AS di sana, Inggris juga memiliki kekuatan tempur yang hampir sama besarnya.
Pada hari sabtu 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri ASDean Acheson memberi tahu Presiden Harry S. Truman melalui telepon, “Bapak Presiden, saya memiliki berita yang sangat serius. Korea Utara telah menyerang Korea Selatan.” Truman dan Acheson mendiskusikan sebuah serangan balasan sebagai respon yang akan diambil AS dengan pimpinan departemen pertahanan, yang setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi militer, lalu menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler di tahun 1930 (yang ketika itu didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang. Presiden Truman mengakui bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah komunisme yang semakin mengglobal:
Komunisme sedang beraksi di Korea, sebagaimana yang dilakuan Hitler, Mussolini, dan Jepang lakukan sepuluh, lima belas, dan dua puluh tahun yang lalu. Saya merasa yakin bila Korea Selatan dibiarkan jatuh, pemimpin Komunis akan semakin melebarkan kekuasaannya hingga ke negara dekat pantai kita sendiri. Jika komunis dibiarkan memaksakan kehendak mereka di Republik Korea tanpa perlawanan dari dunia yang bebas, negara-negara kecil lainnya akan kehilangan keberanian untuk melawan ancaman dan agresi dari tetangga Komunisnya yang lebih kuat.
Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan “agresi yang tidak diprovokasi” dan “bersemangat mendukung upaya dewan keamanan [PBB] untuk mengakhiri pelanggaran serius terhadap perdamaian. Pada Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara dengan mudah membujuk Kongres mengegolkan $12 miliar untuk menambah anggaran militer di Asia yang penting untuk mencapai tujuan National Security Council Report 68 (NSC-68), penahanan global AS terhadap komunisme.
Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan Jenderal MacArthur mengirim material kepada tentara Republik Korea dan memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara Amerika Serikat. Akan tetapi, presiden menolak mengebom Korea Utara secara langsung. Selain itu, presiden juga memerintahkan Armada ke-7 AS untuk melindungi Taiwan, yang meminta untuk ikut bertempur di Korea. Akan tetapi presiden menolak permintaan itu dengan alasan dapat memancing kemarahan China.
Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS dan Korea Utara di Perang Korea. Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang Korea Utara di Osan, namun karena tidak membawa senjata yang mampu menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal, dengan total 180 orang tewas, terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan, memaksa Divisi ke-24 AS mundur ke Taejeon, yang di kemudian hari juga berhasil dikuasai Korea Utara padaPertempuran Taejon; Divisi ke-24 menderita 3.602 tewas atau terluka dan 2.962 ditangkap—termasuk komandan divisi Mayor Jendral William F. Dean. Di udara, Angkatan Udara Korea Utara menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29 pengebom AS; sementara AS hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara.
Di bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea Selatan dan tentara AS ke kota Pusan, di Korea Tenggara. Dalam serangan itu, Korea Utara menghabisi akademisi Korea Selatan dengan membunuh pegawai negeri dan kaum intelektual. Pada 20 Agustus, Jenderal MacArthur memperingatkan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia bertanggung jawab terhadap kekejaman tentara Korea Utara. Hingga bulan September, tentara PBB hanya bisa mengontrol pinggiran kota Pusan, atau hanya 10% dari wilayah Korea.

• Kebuntutan Perang
Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan China tetap berperang, namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi kebuntuan. Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus berlangsung, perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951 di Kaesong. Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan tengah berjalan; tujuan Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh Korea Selatan dan menghindari kehilangan wilayah. Tentara China dan Korut juga melakukan operasi serupa serta melakukan operasi-operasi psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam fase ini antar alainPertempuran Bloody Ridge(18 Agustus—15 September 1951) dan Pertempuran Heartbreak Ridge (13 September—15 Oktober 1951),Pertempuran Old Baldy (26 Juni—4 Agustus 1952), Pertempuran White Horse (6–15 Oktober 1952), Pertempuran Triangle Hill (14 Oktober—25 November 1952), dan Pertempuran Hill Eerie(21 Maret—21 Juni 1952), pengepungan Outpost Harry (10—18 Juni 1953), Pertempuran Hook (28—29 Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret—16 Juli 1953).
Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun; di Kaesong (Korea Utara bagian Selatan), kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea). Problem utama dari negosiasi ketika itu adalah repatriasi tawanan perang. China, Korea Utara, dan tentara PBB tidak bisa membuat kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara yang menolak kembali ke Utara. Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir, sebuah Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah tersebut.
Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal 29 November 1952, presiden terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk mempelajari hal-hal yang mungkin dapat mengakhiri perang Korea. Pada 27 Juli 1953, proposal gencatan senjata dari India disetujui oleh Korea Utara, China, dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut tertulis bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuah Zona Demiliterisasi Korea. Tentara PBB, yang didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan China menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak untuk menandatangani perjanjian itu, karenanya Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.
• Korban perang
Tentara PBB dan AS menghitung jumlah tentara China dan Korea Utara yang tewas berdasarkan laporan korban-tewas di lapangan, interogasi tahanan perang, dan intelejen militer (dokumen, mata-mata, dan lain-lain). Korban tewas:
• AS: 36.940 terbunuh.
• China: 100.000—1.500.000 terbunuh, kebanyakan sumber memperkirakan 400.000 orang yang terbunuh.
• Korea Utara: 214,000–520,000; kebanyakan sumber memperkirakan 500.000 orang yang terbunuh.
• Korea Selatan: Rakyat sipil: 245.000—415.000 terbunuh, Total rakyat sipil yang tewas antara 1.500.000—3.000.000, kebanyakan sumber memperkirakan 2.000.000 orang tewas.
Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat China, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi, perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini.
• Perang kembali terjadi
Setelah puluhan tahun terdiam kini pada tanggal 23 november 2010 perang saudara ini kembali memanas, provokasi yang dilakukan oleh tentara Korut dengan memborbardir Yeonpyeong membuat Korsel mengambil langkah-langkah siaga, setidaknya sampai saat ini Korsel masih melakukan sejumlah persiapan latihan militer yang dilakukan bersama sekutunya AS.
Pihak Korut sampai saat ini juga tidak berdiam diri, hingga kini, Korea Utara terus mengumpulkan pasukan militer konvensional yang besar dan tangguh untuk ditempatkan di sekitar zona netral atau Zona Demilitarized (DMZ) sebagai cara memulai invasi ke Korea Selatan. DMZ berada di sepanjang 250 kilometer dan lebar 4 kilometer dari Laut Kuning, sisi barat Laut Jepang. Bertentangan dengan namanya, zona ini terletak dalam satu kawasan dunia yang paling banyak berhubungan dengan sisi militer.
Lebih dari satu juta tentara dan 20 ribu kendaraan lapis baja serta artileri berada di posisi siap di sekitar DMZ. Selain itu, kawasan tersebut memiliki lebih dari satu juta ranjau darat dengan berbagai posisi benteng yang dikemas dalam area kecil. Ada pula posisi strategis yang terletak di antara DMZ dan pusat kota Pyongyang (sekitar 125 kilometer utara DMZ) dan Seoul (sekitar 40 kilometer di selatan DMZ).
Sebagai perbandingan, pasukan di kedua sisi DMZ memiliki konsentrasi lebih padat daripada mereka yang tercakup di Pakta Warsawa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara di Eropa Tengah selama Perang Dingin.
Dalam kurun beberapa tahun, banyak ahli menyangsikan kekuatan Korea Utara sekaligus menyoroti peningkatan kemampuan militer Korea Sealtan. Saat perang berlangsung, pasukan Korea Utara menjadi semakin rentan kalah karena muncul bala bantuan AS yang balas menyerang dengan amunisi mutakhir. Jalur pasokan perang Korea Utara juga mungkin terganggu oleh para sekutu serangan artileri dan udara yang akan menyulitkan pasokan. Selain itu, pertahanan Korea Selatan telah dipersiapkan dengan baik serta angkatan bersenjata negara itu secara kualitatif unggul, meskipun beberapa di antaranya sebanding dengan Korea Utara.
Berikut perbandingan kekuatan antara Korsel dan Korut menurut wartanews.com,
JUMLAH TENTARA

- Korea Utara memiliki 1,19 juta tentara aktif, dan lebih dari 7,7 juta personil cadangan. Korut adalah salah satu negara di dunia yang memiliki populasi militer terbesar dengan populasi penduduknya yang berjumlah 23,4 juta orang.

- Korea Selatan memiliki 687.000 tentara aktif, dan sekitar 4,5 juta pasukan cadangan. Mereka diperkuat oleh 28.000 tentara AS yang ditempatkan di bagian selatan Korea.

SENJATA KONVENSIONAL

- Korea Utara memiliki 4.100 tank dan lebih dari 2.500 personel lapis baja. Banyak peralatan militer beratnya berasal dari era Uni Soviet dan membutuhkan modernisasi. Tank T-54, merupakan tank tempur utama Korea Utara, dan secara bertahap oleh negara-negara lainnya yang juga menggunakan tank tersebut, telah dipensiunkan sejak tahun 1970-an.

- Korea Utara juga memiliki lebih dari 17.900 artileri, termasuk 4.400 berdaya gerak sendiri, serta 2.500 peluncur roket dan 7.500 unit mortir.

- Korea Selatan memiliki 2.750 tank tempur utama dan 2.780 personel lapis baja. Korsel memiliki 10.470 artileri termasuk 1.089 berdaya gerak sendiri dan 3.500 berdaya manual. Korea Selatan juga memiliki 185 peluncur roket.

- Korea Utara memiliki 620 pesawat MIG tua buatan era Soviet dan secara umum telah usang dan tidak cocok untuk pertempuran modern. Korea Selatan memiliki sekitar 490 pesawat tempur tipe modern.

- Korea Utara diyakini memiliki armada kapal selam yang tidak diketahui secara pasti jumlahnya serta 71 unit kapal perang. Sedangkan Korsel 140 kapal perang.

- Korea Utara sangat membatasi pasokan bahan bakarnya, dan sangat bergantung pada China untuk minyak mentah dan bensin.

RUDAL

- Korea Utara memiliki lebih dari 800 rudal balistik dan lebih dari 1.000 rudal dengan berbagai jangkauan. Korut telah menjual misil dan teknologinya ke luar negeri, dengan Iran sebagai pembeli utamanya. Korea Selatan dibatasi dalam membangun rudal bawah perjanjian dengan Amerika Serikat, tetapi baru-baru ini telah menempatkan sejumlah rudal baru jarak jauh dengan jangkauan 1.500 km yang bisa menghantam seluruh wilayah Korea Utara dan juga sasaran di Cina dan Rusia.

SENJATA NUKLIR

- Korea Utara diyakini telah memproduksi sekitar 50 kg plutonium, yang dikatakan para ahli akan cukup untuk membuat enam sampai delapan senjata nuklir. Penampakan Satelit baru-baru ini melaporkan lebih dari 1.000 sentrifugal di kompleks nuklir utamanya, yang memungkinkan Korut untuk menciptakan senjata nuklir.

- Korea Selatan, sebuah negara maju yang memiliki PLTN namun tidak memiliki program senjata nuklir, meskipun Washington telah menjanjikan perlindungan di bawah "payung nuklir" AS.

PASUKAN AS DI KOREA SELATAN

- Divisi Infanteri Ke-2 dipersenjatai dengan 140 unit tank tempur M1A1 Abram, 170 unit panser M2 Bradley Fighting, peluncur roket, misil taktis serta sistem pertahanan rudal Patriot. Angkatan Udara AS mengoperasikan pesawat tempur F-16, pesawat penyerang daratan dan tiga unit pesawat pengintai U-2. (lik/dar).
Berdasarkan hal itu kita bisa melihat jika Korut memiliki jumlah persenjataan yang lebih banyak, akan tetapi bagaimanapun juga kemampuan Korsel tidak bisa dipandang sebelah mata karena selain memiliki persenjataan yang cukup mereka dilindungi oleh Negara super power AS.
Kita hanya bisa berharap agar konflik antara kedua Negara ini bisa cepat berakhir Karena bagaimanapun juga jika perang ini terus berlanjut akan membawa dampak buruk bagi kedua Negara karena dapat menimbulkan sejumlah kerugian baik materil maupun imateril dan lebih dari itu korban akan semakin banyak berjatuhan.

3. Peranan Indonesia Ditengah Konflik Korea
Sebagai Negara yang merdeka, Indonesia memiliki cukup pengaruh di Asia, apalagi tahun ini Indonesia menjadi ketua dari Asean sehingga harus menunjukkan peranannya dalam konflik ini, disamping menjalankan amanat konstitusi yaitu untuk ikut dalam menjaga keamanan dan ketertiban dunia.

Demikian pendapat pakar hukum internasional Prof Dr Hikmahanto Juwana pada detikcom, Minggu (5/12/2010). Menurut Hikmahanto, seharusnya Indonesia dapat menawarkan diri untuk menjadi penengah bagi konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara di mana Korea Utara telah melakukan serangan bersenjata.

Indonesia dapat menawarkan kepada Korsel sebagai pihak yang mendengarkan dan memperoleh informasi dari Korut terkait alasan serangan beberapa waktu lalu. Apalagi baru-baru ini Korut juga mengancam akan melakukan serangan lanjutan sebagai reaksi rencana latihan militer bersama Korsel dan AS. "Indonesia dapat melakukan shuttle diplomacy antara Seoul-Pyongyang, bahkan ke Beijing, Moscow dan Washington," kata Hikmahanto.

Tujuan diplomasi itu ada dua. Pertama, untuk jangka pendek terhindarnya kelanjutan serangan Korut dan meredam kemarahan Korsel atas serangan Korut. Kedua, untuk jangka panjang memberikan solusi komprehensif bersama negara-negara lain atas perseteruan dua Korea.
Selain itu Indonesia bisa dianggap oleh dua Korea sebagai negara yang netral, tidak seperti China dan Rusia yang mungkin lebih berpihak pada Korut atau AS dan Jepang yang lebih berpihak pada Korsel. i sebagai Ketua ASEAN harus menunjukkan perannya dalam menjaga perdamaian di kawasan dan meredam terjadinya konflik bersenjata.

pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan Korut. Nana Sutrisna diplomat kawakan pada tahun 2006 pernah menjadi utusan Pemerintah RI untuk berkomunikasi dengan Korut sehubungan dengan reunifikasi dua Korea,sehingga menurut Hikamahanto perlu untuk dilakukan.

PENUTUP
Perang Korea memang dianggap sebagai perang terlupakan akan tetapi jika terus dibiarkan dan tidak mendapatkan titik temu maka akan berdampak bagi Negara-negara yang lain tidak hanya merugikan kedua Negara tersebut disamping itu kekhawatiran akan terjadinya perang dunia ketiga merupakan hal yang perlu diwaspadai mengingat adanya sekutu-sekutu kedua Negara yang memiliki pengaruh yang cukup besar ditengah-tangah peradaban dunia, berdasarkan hal itu perlu diambil sejumlah langkah diplomasi untuk meredahkan ketegangan yang ada karena bagaimanapun perang hanya akan membawa kerusakan, dan korban yang akan terlus berlanjut jika tidak dihentikan.

sumber : Wahyu winoto, www.blog.wahyu-winoto.com, ditulis November 2010.
Marvel, www.marvel.ypcian.com, ditulis 24 november 2010.
www.detikcom, ditulis 5 desember 2010

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Masalah Pendaftaran Jaminan Fidusia

Penyelesaian Perkara Koneksitas

Upaya Hukum Pidana