ANALISIS EFEKTIFITAS DPR DALAM LEGISLASI NASIONAL


A. Latar Belakang dan Permasalahan

Belakangan ini bangsa Indonesia menghadapi berbagai masalah, yang meliputi bidang politik, sosial, eknomi, dan kebudayaan. Berbagai masalah ini tak lepas dari kondisi hukum nasional yang tidak menentu. Hukum sebagaimana diidentifikasi dalam Lampiran Tap MPR No. V/MPR/2000, telah menjadi alat kekuasaan dan pelaksanaannya telah diselewengkan oleh para penguasa sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, yaitu persamaan hak setiap warga negara di hadapan hukum.

Perangkat hukum yang demikian itu hadir sebagai konsekuensi dari konfigurasi politik orde baru yang anti demokrasi. Akibatnya produksi hukum berjalan tanpa sebuah perencanaan yang matang, bahkan tidak jarang hukum diproduksi hanya untuk merespon kepentingan segelintir orang untuk suatu kekuasaan.

Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul dengan hadirnya sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan umum yang demokratis, maka tuntutan pembaruan produksi hukum merupakan hal yang perlu kita lakukan.


B. Ruang Lingkup dan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas maka ruang lingkup permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. a. Bagaimana penyusunan legislasi nasional yang aspiratif?

b. b. Sejauh mana peran DPR dalam pembentukan UU?

c. c.Bagaiman membuat undang-undang yang efektif?

1. Pengertian Proses Legislasi Nasional

Proses legislasi nasional (prolegnas) secara sempit dapat diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah berdasarkan prioritas pembentukannya. sedangkan Prolegnas dalam arti luas mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi, dan pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).

2. Proses Legislasi Nasional

Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR mengacu pada pasal 20 UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada DPR dalam membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama..

Rancangan undang-undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. DPD dapat mengajukan RUU sesuai kewenangannya yaitu yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat tujuh hari kerja harus disampaikan pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR akan mengirim surat kepada Presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Masalah-Masalah Dalam Proses Legislasi Nasional

1. Kontribusi DPR Dalam Pengajuan Undang-Undang

Dalam pembuatan undang-undang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa DPR tidak bekerja sendiri,karena melibatkan Presiden dan juga DPD. Meskipun mempunyai kekuasaan dalam membentuk undang-undang, setiap RUU harus melalui persetujuan dan pengesahan dari presiden sehingga kekuasaan itu pada dasarnya tidak mutlak, karena UUD sendiri memberikan hak yang sama kepada Presiden untuk dapat mengajukan RUU (pasal 20 ayat 2). Hal ini merupakan salah satu masalah yang perlu kita cermati dalam konstitusi kita.

Undang-undang dasar secara jelas mengatakan bahwa, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Apalah artinya kekuasaan itu jika presiden memiliki hak yang sama, bahkan tanpa persetujuan presiden undang-undang tersebut tidak bisa diundang-undangkan.

Tidak hanya itu, pemerintah sebagai legislative partner justru lebih menonjol dari legislatif sendiri, hal ini dapat kita lihat dalam suatu survei yang menunjukan sekitar 90% RUU itu berasal dari pihak eksekutif, sedangkan legislatif hanya mengajukan tak lebih dari 10%. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena DPR sebagai wakil rakyat merupakan lembaga yang paling ideal dalam pengajuan RUU.

Dilain pihak, pemerintah beranggapan bahwa mereka lebih berpengalaman dari anggota-anggota dewan, hal ini ada benarnya juga, karena pada kenyataannya banyak anggota dewan yang duduk di parlemen hanya bermodal uang pada pemilu dan tidak memiliki kualitas, bahkan hanya mengantongi ijazah SMP atau SMA. Hal ini perlu kita kritisi sebab jika tidak demikian demokrasi di Indonesia bukannya maju, tetapi kembali seperti masa orde baru, dimana pembentukan undang-undang diatur oleh eksekutif.

Keadaan ini sebenarnya dapat kita atasi, yaitu, dengan memilih wakil-wakil rakyat yang berkualitas, berani, dan setidaknya lulusan strata satu, seperti sarjana hukum,sarjana ekonomi, sehingga mereka mengetahui pokok permasalahannya dengan benar, dan dapat mengimbangi pemerintah dalam pembuatan undang-undang.

2.2 Efektivitas Sebuah Undang-Undang

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan legislasi berada di tangan presiden (eksekutif). Pascareformasi, melalui amendemen UUD 1945, kewenangan tersebut diberikan kepada DPR sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20A Ayat 1 bahwa salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi legislasi, selain fungsi anggaran dan fungsi pengawasan

Ketentuan ini secara jelas menyebutkan perubahan paradigma konstitusi bahwa kekuasaan legislasi mengalami pergeseran dari kekuasaan Presiden menjadi kekuasaan DPR. Pergeseran kekuasaan ini tidak hanya menimbulkan implikasi mendasar dalam proses pembentukan UU, tetapi sekaligus menunjukkan posisi strategis DPR dalam pembuatan UU. Seharusnya DPR menjadi lembaga yang sangat menentukan dalam peran pembentukan UU. Dengan demikian, kualitas sebuah UU dipengaruhi oleh kinerja dan performa DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya, sehingga wajar jika banyak pihak menuding DPR sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas adanya undang-undang yang tidak tepat.

Undang-undang yang berkualitas memang dibutuhkan untuk menata reformasi di berbagai bidang, tetapi, seringkali produk UU yang dihasilkan DPR malah menimbulkan situasi tidak nyaman dan ketidakpastian hukum. Tak jarang, berbagai UU terlihat tumpang-tindih, disharmoni, paradoks antara satu dan yang lain, bahkan bertentangan dengan semangat reformasi. Tingginya tingkat pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permintaan pembatalan sejumlah UU, merupakan salah satu indikator penting gagalnya DPR merumuskan UU yang berkualitas dan konstitusional.

Pada 2004 hingga 2009, MK menguji permohonan pembatalan sebanyak 152 UU. Selain itu, hasil penelitian Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM menemukan, selama 2004-2009, dari 284 RUU yang dicanangkan dalam Prolegnas yang diselesaikan DPR hanya 197 RUU atau sekitar 69,85 persen. Undang-undang yang dihasilkan DPR pun hanya pada soal pemekaran daerah, yakni sekitar 30 persen. Padahal, pemekaran daerah dinilai sebagai salah satu pembawa virus korupsi ke daerah. Sementara UU yang mengatur tentang pemberantasan korupsi dan penciptaan pemerintahan yang baik menempati urutan terbawah, yakni hanya 12 UU (6 persen).

Tidak banyak yang tahu jika dalam pembuatan undang-undang DPR mengambil biaya dari APBN dan jumlahnya tidak sedikit. Pada tahun ini DPR menaikkan biayanya menjadi dua kali lipat, dengan biaya 5,8 milyar untuk satu undang-undang. Dapat kita bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan negara hanya untuk pembuatan undang-undang. Hal ini perlu kita tahu mengingat banyaknya undang-undang yang berkesan tidak matang, sehingga menimbulkan polemik dalam masyarakat yang ujung-ujungnya dibuat lagi yang baru.

Dibawah ini adalah beberapa undang-undang yang dijudical review oleh MA,

a. Undang-undang no. 10 tahun 2008 tentang pemilu

b. Undang-undang no. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan

c. Undang-undang no.22 tahun 2007 tentang penanaman modal.

Disamping itu, adapula undang-undang yang hanya berlaku beberapa tahun saja, kemudian diganti dengan yang baru, diantaranya,

a. Undang-undang no. 12 tahun 2008 tentang perubahan undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah

b. Undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang no. 31 tahun 1991 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

c. Undang-undang no. 25 tahun 2009 tentang perubahan undang-undang no. 37 tahun 2008 tentang ombudsman.

Jika ditinjau dari segi anggaran, ini merupakan suatu masalah yang perlu dibenahi oleh DPR, sebab disatu sisi, biaya, gaji, serta tunjangan yang dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan kinerja DPR. makanya perlu adanya pembahasan yang matang dan tidak terburu-buru dalam pengesahan undang-undang, jika masih ada konflik dan tidak mendapatkan kesepakatan, ada baiknya untuk tidak dipaksakan, dan dikembalikan sesuai pasal 20 ayat 3 undang-undang dasar untuk segera dicabut dan tidak bisa diajukan lagi dalam sidang masa itu.

Disamping itu, Untuk meningkatkan kualitas produk legislasinya, DPR harus segera melakukan perbaikan. Saat ini, DPR belum memiliki perangkat untuk menyusun naskah RUU dalam jumlah yang besar, sebagaimana yang dimiliki oleh pemerintah. Semestinya, sumber-sumber yang dimiliki DPR dalam proses penyusunan UU berimbang dengan apa yang dimiliki pemerintah. Paling tidak, DPR dapat memaksimalkan keberadaan badan legislasi. Lembaga ini harus diperkuat dengan tenaga ahli dalam pembuatan naskah UU (legal drafting) yang meliputi berbagai bidang keahlian. Lembaga inilah yang diharapkan berperan aktif menyiapkan naskah RUU secara teknis, sehingga dapat mengakselerasi pembahasan sebuah RUU. Kemudian, DPR harus berhenti menggunakan mekanisme studi banding ke luar negeri sebagai satu-satunya cara untuk menyusun RUU. Ada baiknya melibatkan kalangan profesional, akademisi, dan kelompok civil society lainnya dalam perancangan undang-undang, cara ini dipandang lebih efektif untuk meningkatkan kualitas UU.

Hal yang penting juga diperhatikan adalah kualitas komitmen partai-partai politik beserta komitmen para anggota secara individual yang duduk di DPR. Relatif buruknya kualitas komitmen para politisi parpol dalam mengagendakan pemerintahan yang bersih, demokratis, transparan, dan akuntabel menjadi penyebab rendahnya kualitas produk legislasi DPR. Kualitas DPR tak bisa dipisahkan dari kualitas komitmen parpol yang lolos ke Senayan. Apabila partai-partai politik di DPR tidak memiliki agenda perubahan legislasi yang positif, maka kinerja legislasi DPR yang baru tidak akan lebih baik dari DPR periode sebelumnya.

Tantangan lainnya, yaitu politisi DPR harus mampu mengurangi perilaku yang bersifat transaksional-koruptif serta menghindari conflict of interest dalam setiap pembahasan RUU. Jika tidak, kualitas produk legislasi DPR baru tak akan jauh beda dari legislator sebelumnya. Dan mungkin, harapan akan munculnya sebuah UU yang berkualitas terhadap persoalan rakyat tak akan bisa terbentuk.

A. Kesimpulan

Dalam pembuatan undang-undang saat ini, DPR hanya dalam taraf mencatat daftar keinginan mereka, bukan daftar kebutuhan masyarakat, karena daftar undang-undang yang melalui proses legislasi terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan masyarakat.

Proses pembentukan, perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang belum sesuai dengan harapan, karena tidak memberikan akses yang seimbang kepada masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun menurut Peraturan Tata Tertib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai dalam menyampaikan aspirasi masyarakat, sehingga berkesan DPR bekerja sendiri dan bukan merupakan wakil rakyat.

B. Saran

Dalam menjalankan kewenangannya,seharusnya DPR melakukan penetapan rentang waktu yang agak lebih panjang (5 sampai 10 tahun) untuk keberlakuan sebuah undang-undang sehingga memacu DPR untuk lebih efektif dalam pembuatan undang-undang.

Agar keberlakuan undang-undang efektif perlu adanya sosialisasi terlebih dahulu, baik melalui pers, rapat dengar pendapat umum dengan para ahli, mahasiswa, LSM, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan yang konsisten dan bertanggung jawab dan dapat diterima oleh masyarakat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Masalah Pendaftaran Jaminan Fidusia

Penyelesaian Perkara Koneksitas

Upaya Hukum Pidana